🔊 Dalam menjalankan tugas jurnalistik, seluruh wartawan media online Swara HAM Indonesianews.com dibekali dengan Tanda Pengenal. Harap tidak melayani oknum-oknum yang mengatas namakan media online Swara HAM Indonesianews.com tanpa dilengkapi Tanda Pengenal           🔊 Segala tindakan pelanggaran Hukum yang dilakukan oleh wartawan Swara HAM Indonesianews.com menjadi tanggaungjawab yang bersangkutan

Ombak Digital di Indonesia: Menjaga Konsumen di Tengah Gelombang Cyber

 Ombak Digital di Indonesia: Menjaga Konsumen di Tengah Gelombang Cyber

(KategoriFeaturedArticle–PelindunganKonsumen)

NurAuliyanaT.

Gambar1.Pelaut Sulawesi Selatan sandarkan kapal.(Sumber : Dokumentasi Pribadi, Oktober 2022)

“Seperti laut yang menyimpan badai, dunia digital menyimpan jebakan. Tapi seperti pelaut yang selalu menemukan daratan, kita pun bisa menemukan jalan pulang dengan mata terbuka, hati siaga, dan ilmu yang tak henti dijaga.”

Sejak kecil,kita sudah akrab dengan cerita sejarah bahwa Indonesia adalah negara maritim. Guru mengajarkan bagaimana Sriwijaya menguasai jalur perdagangan laut, atau bagaimana Majapahit menjalin hubungan dengan negeri jauh lewat samudra.

Laut adalah. urat nadi peradaban,tempat bangsa ini ditempa oleh ombak dan angin, sekaligus ladang kejayaan yang membesarkan nama Nusantara. Dari sana kita belajar bahwa bangsa ini sudah terbiasa menghadapi derasnya arus dan tingginya gelombang.

Namun kini, ombak yang menghantam bukan lagi hanya berasal dari lautan. Generasi yang dahulu berperang melawan badai samudra, kini menghadapi badai baru gelombang cyber yang tak kalah dahsyat.

Aku masih ingat wajah seorang ibu di Makassar. Tangannya bergetar saat menunjukkan saldo rekening yang tiba-tiba kosong. Ia hanya ingin menyimpan hasil jerih payah menjual sayur di pasar, tapi sebuah tautan yang meyakinkan merampas segalanya. “Kenapa aku bisa tertipu, mau makan apa?” suaranya lirih, hampirpatah.Momenitumenamparku:kejahatandigitaltidakmemilihkorban.

Gambar 2. Potret Pertama di Pondok.(Sumber:DokumentasiPribadi,Juni2019)

Aku sendiri pernah mengalami kisah lain. Saat mondok di pesantren, jauh dari keluarga, komunikasi terasa mahal. Bank terlalu jauh, telepon dilarang di asrama, maka keluargaku memilih menitipkan uang lewat sopir mobil lintas daerah yang kami kenal. Uang itu bukan sekadar lembaran rupiah. Ia adalah peluh dari sawah, doa yang terselip, dan pelukan jarak jauh agar anaknya tidak pernah merasa kekurangan di perantauan.

SetiapJumat,akumenunggugiliranmenggunakanteleponasrama:sebuahtelepon Nokia jadul yang menyimpan banyak cerita. Kadang, kalau tak sabar, aku “nyuri star” dengan miscall ke rumah.

Perasaan bahagia saat mendengar suara orang rumah menjadi tempat rehat paling nyaman. Aku bercerita tentang kegiatan sepekan, sembunyi di lemari demi seru- seruan, antri makan dan pengeluaran minggu depan yang akan sedikit menguras. “Maa, adik mau bayar uang komite” terdengar suara adikku dari telfon. “Sudah panen yaa, sekarang ibu belum punya uang”. Merasa bersyukur niat minta uang belum aku lontarkan.

Kisahsederhanainiseakanberulangdalambentukberbeda.Suatusore,seorang ibu paruh baya menerima telepon dengan nada tergesa-gesa. Di ujung sana, seseorang mengaku sebagai anaknya, Liya, yang sedang dalam masalah darurat dan butuh uang Rp5.000.000.00.- segera. “Bu, tolong cepat, aku butuh uang. Kirim ke rekening ini. Jangan banyak tanya, nanti akan ku kembalikan dua kali lipat,” desak suara itu.Aneh, sebab Liya sebetulnya masih sekolah, tidak bekerja.

Hati seorang ibu tentu saja mudah goyah. Apalagi, minggu lalu Liya sempat berceritasoalbanyakpengeluaran.Kekhawatiran,rasa cinta,dan naluri melindungi anak membuat pikirannya buntu. Uang siap dikirim.

Namun,takdir berkata lain.Saat itu,adik datang dan melihat sang ibu tergesa-gesa. Heran, ia bertanya, dan segera sadar ada yang janggal. “Bu, jangan! Kalau betul darurat, kenapa tidak telepon pakai nomor biasanya?” kata adik.

Dorongan sang adik, mereka mencoba menghubungi Liyadi nomor resmi/asrama. Benar saja, Liya menjawab dengan tenang dari pondok. Tidak ada masalah, tidak ada permintaan uang, semua hanyalah akal-akalan penipu.

Sejenak ibu terdiam,napasnya terengah.Hampir saja ia kehilangan uang hasil kerja kerasnya karena terbawa emosi. “Astaghfirullah… hampir saja ibu tertipu passobis.” ucapnya lirih, penuh syukur.

Modus ini dikenal di Sulawesi Selatan sebagai passobis, penipuan berbasis panggilan suara yang memaksa korban bertindak cepat. Motif utamanya selalu sama: menciptakan suasana panik, memanfaatkan hubungan emosional, lalu menutupruangberpikirkorban.Peniputahu,dalamtekanan,logikamudahlumpuh. Inilah cara mereka mengunci mangsanya.

Kisah sebelumnya bukan sekadar drama rumahbtangga.Data resmi memperlihatkan realitas di lapangan. Lebih dari 20 ribu laporan fake call hingga Juli 2025. Bank Indonesia telah menyelesaikan 97,69% pengaduan konsumen terkait produk keuangan pada triwulan 1 2025.

Tradisi Kepedulian Lama,Wajah Baru

Dulu, orang Bugis Makassar punya konsep “siri’” harga diri yang harus dijaga. Dalam tradisi Jawa ada pepatah “aja nganti kecolongan” jangan sampai lengah. Semua itu sebenarnya bicara tentang kewaspadaan.

Di kampung halamanku, ada tradisi menjaga sawah secara bergilir, disebut makkampi semacam ronda, agar tidak ada pencuri yang masuk malam-malam. Itu warisan kearifan: jaga harta, jaga marwah. Apa yang dilakukan Bank Indonesia lewat edukasi perlindungan konsumen,akurasa seperti ronda diera digital.Mereka mengingatkan kita: jangan sampai kecolongan.

Aku takjub,dulu pencuri datang membawa linggis,sekarang mereka datang dengan bahasa manis.Dulu mereka menunggu gelap malam.Sekarang mereka masuk lewat notifikasi di siangbolong.Lebih mencengangkan: kadang korban justru membuka pintu sendiri. Berbagi itu indah, kecuali berbagi informasi data pribadi Jangan sembarang klik. Jaga data pribadi.Laporkan jika ada yang mencurigakan.

Keamanan hari ini bukan lagi hanya soal pagar rumah,tapi pagar pengetahuan. Sekecil apapun, bisa menjadi tameng yang menyelamatkan. Ia seolah berbisik: “Jangan biarkan hatimu terperdaya oleh kilau palsu.

Jangan biarkan tanganmu membuka pintu bagi tamu tak dikenal.”

Hari ini, pesan yang sama berlaku. Bedanya, yang kita jaga bukan hanya rumah atau sawah, tapi juga identitas digital dan tabungan kita.

Perlindungan Konsumen di Tangan Kita

Gambar 3. Roadshow Nonstop Education Barru.(Sumber:Dokumentasi NSEKpwBI Sulsel,Agustus2025)

Bank Indonesia melalui program edukasi,seperti Roadshow Nonstop Education di Sulawesi Selatan,membawa pesan penting:literasi digital adalah benteng pertama perlindungan konsumen. Kesadaran ini perlahan tumbuh dari kelas para guru di Barru, obrolan nelayan di Pangkep, hingga diskusi mahasiswa di Makassar.

Semua sepakat:tak ingin jadi korban.

Pelindungan konsumen adalah segala upaya untuk menjamin adanya kepastian hukum agar konsumen memperoleh haknya, terlindungi dari kerugian, dan bebas dari praktik curang. Program perlindungan konsumen yang digaungkan Bank Indonesia terlihat seperti kelanjutan tradisi itu. Sama seperti orang tua yang mengingatkan kita agar selalu waspada,Bank Indonesia hadir untuk memberi pagar pengetahuan.

Begitu ada kesalahan, konsumen tak perlu panik atau merasa sendirian. Langkah pertama adalah melapor ke bank atau penyedia jasa terkait. Jika masalah tak kunjung terselesaikan,suara konsumen bisa melangkah lebih jauh,mengetuk pintu Bank Indonesia lewat layanan BICARA 131 atau surel ke bicara@bi.go.id.

Karena pada akhirnya,hak konsumen untuk dilindungi.

“Mata boleh terpikat oleh cahaya layar, tapi hati harus tetap waspada. Sebab di balik kilau tautan, bisa ada jebakan yang merampas segalanya. Karena itu, mari kita PEKA: Peduli pada keamanan, Kenali setiap modus, dan Adukan segera bila ada yang mencurigakan.”

KategoriFeaturedArticle–PelindunganKonsumen)

NurAuliyanaT.

Posting Komentar untuk "Ombak Digital di Indonesia: Menjaga Konsumen di Tengah Gelombang Cyber"