Bayang-Bayang di Balik SK: Rangkap Jabatan, Ruang Sunyi, dan Retakan Etik di Tubuh PWI”
Swara Ham Indonesia News,Com.Soppeng
Dalam tubuh organisasi yang dibangun dari kata-kata, kadang ada jeda yang menyesatkan. PWI, rumah tua para jurnalis yang sepanjang sejarahnya menjunjung etik dan integritas, mendadak diguncang pertanyaan mendasar—pertanyaan yang lahir bukan dari musuh, melainkan dari rahim organisasi itu sendiri.
Di sudut ruang redaksi, di sela suara telepon yang tak pernah diam, Nurhayana menatap jauh dari balik kacamata tipisnya. “Mengapa rangkap jabatan ini dibiarkan ?” katanya pelan, namun tajam seperti pisau yang sudah diasah lama.
Pertanyaan itu membuka pintu cerita yang lebih lebar—tentang keputusan, konsistensi, dan sebuah konferensi di Soppeng yang kini dipertanyakan kemurniannya.
Nurhayana dan Tiga Dekade Jejak di Lorong PWI ...
Nurhayana bukan nama baru. Dalam peta PWI Sulawesi Selatan, ia telah melintasi begitu banyak masa—dari era mesin tik mengetuk malam hari hingga ketika berita diburu dengan kecepatan algoritma.
Ia pernah menjabat Ketua Seksi Ekuindag. Dua periode menjadi Wakil Bendahara. Dua periode pula menyandang Bendahara PWI Sulsel. Kini ia memimpin Fajar Pendidikan—koran yang ia rawat seperti warisan keluarga.
Tapi justru karena perjalanan panjang itulah ia melihat sesuatu yang ganjil dalam tubuh organisasi: pengurus daerah yang dilantik menjadi pengurus pusat, tapi tetap mempertahankan posisi lamanya di daerah.
“Harusnya mereka memilih,” katanya. “Itu prinsip dasar. Demi menghindari konflik kebijakan.”
Dua Bulan Setelah Pelantikan: Ketika Jabatan Tak Juga Dilepas
Setelah pelantikan PWI Pusat, ia menunggu. Mungkin hanya soal waktu, pikirnya. Mungkin besok, atau lusa, para pengurus daerah yang naik ke pusat akan mengumumkan pengunduran diri mereka.
Namun dua bulan berlalu, Ketua PWI Provinsi Sulawesi Selatan masih menjabat.
Ketua PWI Sulawesi Tenggara masih memegang posisi yang sama.
Ketua PWI Kabupaten Wajo tak melepaskan kursinya.
Di atas kertas, semuanya tampak berjalan normal.
Tapi di balik itu, Nurhayana melihat sesuatu yang janggal.
Puncaknya terjadi ketika PWI Pusat membahas kasus dugaan kecurangan Konferensi PWI Kabupaten Soppeng melalui pertemuan virtual.
Para pengurus rangkap jabatan hadir dalam forum itu.
Dan keputusan pun lahir—keputusan yang oleh sebagian orang disebut “berbau kolusi”.
“Bagaimana keputusan bisa obyektif,” kata Nurhayana, “kalau pengambil kebijakan punya kepentingan langsung di daerah?”
Upa Labuhari: Suara dari Masa ke Masa
Komentar yang lebih panjang datang dari seorang senior: Upa Labuhari.
Ia saksi hidup banyak dinamika PWI Pusat pada 2003–2013. Pria ini paham betul bagaimana organisasi dijalankan ketika aturan ditegakkan dengan ketat.
Dalam komentarnya terhadap postingan Nurhayana, Upa memulai dengan kalimat sederhana yang terasa pahit:
“Sampai sekarang saya belum tahu apakah pengurus PWI Pusat masih memegang prinsip bahwa tidak boleh ada double jabatan.”
Ia lalu mengurai dua kemungkinan:
Kemungkinan pertama:
Jika prinsip larangan rangkap jabatan masih berlaku, maka pengurus daerah yang kini duduk di pusat semestinya tunduk.
Tidak boleh hadir dalam rapat yang menyangkut daerah.
Tidak boleh mempengaruhi keputusan. Dan tentu saja: harus melepas jabatan di daerah.
Kemungkinan kedua:
Jika prinsip itu kini dihapus, maka rangkap jabatan boleh.
Tapi di mata Upa, ini adalah anomali.
“Saya belum pernah melihatnya. Dulu tidak diperkenankan. Kita takut kebijakan daerah yang keliru bisa digolkan melalui pusat.”
Kalimatnya yang paling keras muncul di tengah paragraf:
“Kalau ini diperkenankan, jadi aneh buat saya. Seolah-olah PWI Pusat itu adalah kumpulan pengurus daerah, jadi putusannya tidak fair.”
Dalam bahasa sastra, ini bukan sekadar kritik—ini peringatan.
Ketika Aturan Tak Lagi Menjadi Kompas
Esai ini mengalir ke satu pertanyaan besar: apakah PWI Pusat masih berpegang pada aturan lama, atau sudah diam-diam mengubah haluan?
Sampai artikel ini ditulis, belum ada penjelasan tegas.
Tak ada surat edaran.
Tak ada penjelasan resmi.
Di banyak organisasi, aturan adalah kompas moral.
Tanpa kompas itu, keputusan dapat melenceng, meski hanya satu derajat.
Dan satu derajat dalam organisasi bisa mengubah seluruh arah perjalanan.
Konferensi Soppeng dan SK yang Dipertanyakan...
Pertanyaan paling tajam dari Nurhayana akhirnya muncul seperti kilatan terakhir:
“Berarti keputusan PWI Pusat yang meng-SK-kan Jumawi Cs sebagai Ketua PWI Soppeng, batal demi hukum?”
Sebuah pertanyaan yang mengguncang, karena menyentuh inti persoalan: legitimasi.
Jika keputusan lahir dari rapat yang diikuti oleh pengurus rangkap jabatan, apakah ia masih murni?
Jika seorang pengambil keputusan berada pada dua posisi yang saling bertaut, apakah objektivitas masih terjaga?
Pertanyaan itu belum dijawab.
Atau mungkin belum ada yang berani menjawabnya.
Ruang Sunyi Tempat Organisasi Menimbang Diri
Organisasi sebesar PWI tidak roboh hanya oleh kritik.
Justru ia berdiri tegak karena kritik.
Dalam ruang sunyi itu, di antara lembaran notulensi dan kode etik yang sudah lama menguning, organisasi ini sebenarnya hanya sedang diuji:
apakah ia masih setia pada prinsip yang dulu pernah dijunjung?
Di sinilah suara Nurhayana dan Upa Labuhari menemukan fungsinya.
Mereka bukan sedang ingin menjatuhkan.
Mereka hanya ingin PWI kembali ke rel yang “telah dijalankan secara benar selama bertahun-tahun”. ABPK /tim SHI



Posting Komentar untuk "Bayang-Bayang di Balik SK: Rangkap Jabatan, Ruang Sunyi, dan Retakan Etik di Tubuh PWI”"